Artikel, Tidak Dikategorikan

DILEMA DAN PETAKA BERORGANISASI

Ahmad Zamroni

Sebuah meja kecil berisikan lembaran-lembaran formulir perekrutan anggota baru nampak di bilik-bilik kampus, tatkala menyambut mahasiswa-mahasiswi baru. Dengan semangat yang menggebu-gebu, senior kampus secara masif tampil menyambut mereka. Melalui orasi, lantunan puisi, serta gelar pameran dipertontonkan guna menarik minat para mahasiswa-mahasiswi baru mendaftarkan dirinya dalam sebuah organisasi ‘intra’ dan/atau ‘ekstra’ kampus. Bahkan tak jarang, saling adu-otot pun dilakukan guna mendapatkan sebuah kader anggota baru.

Usai perkenalan berlangsung, para senior kemudian melakukan rekapitulasi data berapa jumlah mahasiswa-mahasiswi yang berhasil dijaring. Tidak sampai disitu, mereka juga melancarkan pendekatan masif kepada calon anggota baru sembari menunggu ritual sakral kaderisasi. Ada yang menggunakan metode pendekatan persuasif, ada pula yang melangsungkan jurus pendekatan emosional, bahkan ada yang berusaha melancarkan aksi PDKT kepada mahasiswi yang berparas bak selebgram kiwari.

Mereka para mahasiswa-mahasiswi baru mendapat informasi bahwa, organisasi adalah tempat yang paling tepat untuk berproses di tingkat perguruan tinggi. Karena di dalamnya kita bisa belajar banyak hal, semisal bekerja sama, diskusi revolusioner, menulis, belajar publik speaking, berwirausaha, dsb. Menarik Bukan ? Ya tentunya hal tersebut terdengar begitu menarik. Namun, apakah bayangan organisasi tersebut benar-benar semenarik petuah-petuah orasi para senior saat Ia berkampanye semasa kita baru memasuki bangku kuliah ?

Dilema Berorganisasi

Menurut penulis, dilema pertama yang dijumpai ketika sudah bergabung dan terlibat aktif di organisai ialah, kurangnya “hubungan emosional” antara anggota baru dengan anggota lama. Hal itu menjadi alasan mendasar ‘dilema’ muncul dibenak mahasiswa-mahasiswi baru. Pasalnya mereka merasa kurang diperhatikan, dan tidak menemukan kenyamanan dalam berorganisasi, serta merasa tidak memiliki organisasi tersebut.

Kemudian dilema kedua yang lumrah terjadi dalam organisasi ialah, minimnya pengkaderan di wilayah basis teoritik atau keilmuan. Sehingga mereka tidak tahu cara berorganisasi yang baik dan benar, lalu hanya menjadi pengikut bokong senior, sebab tidak demokratisnya organisasi serta keilmuan yang belum matang. Organisasi yang semacam ini akan mengakibatkan kader-kader baru keluar meninggalkan organisasi secara perlahan. Fenomena tersebutlah yang sering penulis jumpai dalam organisasi di beberapa kampus.

Kemudian, jika dilema-dilema tersebut tak kunjung dipecahkan bersama dalam organisasi, maka hadirlah sebuah ‘petaka’. Petaka apakah yang muncul ?

Petaka Baru

Menurut pengamatan penulis, petaka yang muncul ialah, organisasi yang semula merupakan wadah untuk belajar dan mengembangkan potensi diri, justru berbanding terbalik ketika “politik gerakan” merasuk dalam suatu organisasi tersebut. Politik gerakan ini memanfaatkan anggota organisasi yang belum kuat dalam wilayah kajian keilmuan, dengan memberikan pemahaman baru di luar organisasi yang mereka ikuti. Hal tersebut tentu menjadi semacam hembusan nafas segar bagi mereka yang mengalami dilema besar dalam organisasinya.

Politik gerakan mengajarkan bahwa, gerakan yang revolusioner itu harus memiliki  garis poltik yang kuat. Sebab politik yang kuat merupakan syarat berhasilnya gerakan revolusioner. Terlihat menarik bukan ? Lantas kenapa dipermasalahkan ?

Permasalahannya ialah, politik gerakan ini meng’klaim’ bahwa hanya golongannya saja yang revolusioner, selain golongannya tidak. Kasus seperti ini, bagi penulis, menjadi sebuah petaka baru. Pasalnya pemahaman yang tidak dipahami secara radikal dan menyeluruh akan menciptakan sebuah dogma, yang akhirnya mudah mengklaim orang yang tidak segaris dengan sikap politik gerakan tersebut sebagai gerakan yang tidak revolusioner.

Padahal, Che Geuvara mengatakan:

“Revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang luar biasa. Mustahil untuk memikirkan seorang revolusioner sejati yang tidak memiliki kualitas ini.”

Dan cinta bukanlah sebuah paksaan, apalagi tuduhan atas sikap yang dianggap berlainan. Cinta itu merangkul dan membawa orang kepada jalan kebenaran, serta menciptakan hubungan sosial yang setara, dan mewujudkan kebahagiaan bersama.

Akhirul Kalam

Oleh karena itu, layaknya setiap organisasi haruslah bersikap demokratis dan profesional. Seperti lebih menekankan kepada giat belajar mengasah bakat dan minat setiap anggota, mendengar keluh kesah anggotanya, dan menampung saran dan kritik seluruh anggotanya. Serta membangun diskusi keilmuan yang bermanfaat bagi pengembangan diri serta masyarakat luas.


Penulis adalah pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam

ilustrasi : Pamoy Syn

Artikel

Ngaji Ekonomi-Politik #2

Berikut ringkasan dari lanjutan diskusi reading book : Geneologi Kapitalisme yang diselenggarakan oleh FNKSA Jombang yang bertempat di RPDH Jombang, dengan Fahmi Saiyfuddin sebagai Fasilitator dalam mengulas tuntas pembahasan BAB I: Asal-Usul Produksi Kapitalis.

Cakupan Materi:

Proletarisasi di Jawa: Sebuah Kasus

Praktik enclosure (pemisahan petani dari lahan garapannya) dan proletarisasi di Jawa:

1830-1870 : Era Tanam Paksa

Jawa dikelola sebagai wilayah perluasan produksi gula dan tanaman impor. Tanah garapan secara resmi milik elite desa, lalu 1/5 luas lahan (dalam praktiknya bisa lebih) diwajibkan untuk menanam tebu sebagai ganti pajak kepada kolonial. Meskipun tanam paksa masih bercorak feodal, akan tetapi pranata-pranata kapitalis seperti sewa tanah, upah, dan panjer dalam ekonomi mulai diperkenalkan kepada petani Jawa. Dibuktikan dengan undang-undang persewaan pada 1839 dan 1857.

1870 : Terbitnya UU Pertahanan kolonial (Agrarischewet)

Meski proletarisasi tenaga kerja dan komodifikasi lahan sudah muncul sejak era Tanam Paksa, akan tetapi pada tahun 1870 inilah titik awal rumusan dasar kapitalisme seperti kepemilikan pribadi absolut atas sarana produksi benar-benar ditegaskan.

Tanah-tanah yang tidak digarap secara langsung, termasuk tanah adat yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya secara tertulis, serta tanah-tanah bangsawan yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, menjadi milik “negara”. Tanah tersebut kemudian disewakan kepada borjuasi liberal di Belanda dengan sebutan ‘hak guna usaha’ selama 75 tahun.

Banyak orang yang terusir dari lahan garapannya. Penduduk tanpa perlindungan sosio-legal tidak punya pilihan lain, selain menjadi buruh perkebunan tebu atau buruh pabrik gula berupah murah guna mempertahankan hidupnya (subsistensi). Sisanya oleh pemerintah kolonial dikirim ke Sumatra dan pulau lain, lalu dijadikan koeli yang juga berupah rendah.

Sistem penyewaan tanah yang didukung hukum legal bernama ‘Agrarischewet’ 1870 merupakan kekuatan Kapitalis menghancurkan corak organisasi kerja feodal. Meski demikian, eksploitasi kapitalis dengan pranata-pranata barunya berdiri di atas pranata penindasan feodal dan Tanam paksa yang diberi nyawa baru. Kerja sama antara Kapitalis dengan elite setempat (seperti bupati, bangsawan, atau kepala desa, dsb.) membangkitkan pranata ‘kerja rodi’ untuk membangun jalan-jalan, saluran irigasi, jembatan, dan infrastruktur penunjang produksi. Hal ini dilakukan sebab dapat menguntungkan kedua belah pihak. Pasalnya hanya dengan ‘modal dengkul’ saja para elite desa juga bisa mendapatkan keuntungan, dengan cara memasok tenaga kerja murah kepada kelas kapitalis guna dihisap tenaga kerjanya.

Marx menuliskan satu wilayah yang dikenal pembangkang di Jawa sebagai berikut:

“Banjuwangi, sebuah propinsi Jawa, terhitung berpenduduk 80.000 jiwa pada 1750 dan hanya 18.000 pada 1811. Itulah (hasil) usaha yang penuh damai” (Marx, 1990: 916), (hal.39).

Kesimpulannya, ada 62.000 jiwa yang bertemu Izrail selama 61 tahun di daerah ujung timur pulau Jawa ketika kapitalisme berkuasa.

***

Segi empat ekpsloitasi kapitalistik:

  1. Lahan Produksi
  2. Skema Hutang
  3. Sistem Proteksi
  4. Pajak Modern

Akumulasi Primitif dan Asal-Usul Ketimpangan

Akumulasi primitif adalah merubah sumber-sumber primitif menjadi modal (kapital), serta pemisahan produsen mandiri (petani penggarap) dari sarana-sarana produksinya (tanah).

Akumulasi primitif ialah proses awal dari corak produksi kapitalisme. Meskipun akumulasi primitif berbeda dengan akumulasi kapital, namun kedunya merupakan sebuah satu kesatuan proses yang tak terpisahkan. Akumulasi primitif merupakan awal dari akumulasi kapital, dan akumulasi kapital tidak terjadi tanpa didahului dengan akumulasi primitif.

Teori akumulasi primitif Marx ditujukan sebagai tanggapan atas teori “previous accumulation” (akumulasi sebelumnya) Sir Adam Smith yang ahistoris. Sebagaimana mitologi yang diyakini kaum borjuis bahwa, terdapat dua gologang manusia: Pertama, ada orang-orang ‘yang rajin, hemat, dan gemar menabung’, kemudian ada orang-orang ‘yang malas, boros, dan suka hambur-hambur’. Dan golongan yang menjadi elite ekonomi sekarang adalah keturanan dari orang yang rajin dan hemat. Sedangkan mereka yang menjadi buruh hari ini adalah keturunan dari orang malas yang suka hambur-hambur. Sehingga dengan teorinya ini, Adam Smith seolah-seolah hendak meyakinkan kaumnya bahwa mereka tidak perlu merasa bersalah dengan adanya ketimpangan sosial.

Teori inilah yang dikritik oleh Marx mengunakan teori akumulasi primitif. Sepanjang bagian delapan Das Kapital jilid pertama (Bab 26-33) Marx mengajukan bukti-bukti sejarah tentang perampasan tanah, pengkaplingan, pengusiran kaum tani, kebijakan upah murah dan sebagainya, yang mendahului revolusi kapitalis. Marx juga menggambarkan tentang perampokan para penjajah Eropa terhadap rakyat dan kekayaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika sebagai bagian integral dari akumulasi primitif.

Bertahannya yang Primitif

Akumulasi merupakan jantung kapitalisme. Tanpa akumulasi, maka Kapitalis dinyatakan gagal dalam mengamalkan kapitalisme. Oleh karena itu, kapital terus memerlukan ruang baru (ekspansi) untuk terus memutar roda kapital, dengan terus berakumulasi.

Terdapat 2 teori yang menggambarkan cara kapital merasuk ke seluruh penjuru bumi dewasa ini. Pertama,Teori ‘accumulation by dispossession’ (akumulasi dengan perampasan) David Harvey (2007: 159), (hal. 51). Contohnya ialah ekspansi perkebunan sawit di Sumatra. Kompas 9 September 2009 mecatat perusahaan perkebunan sawit yang membuka lahan di lima kecamatan di Sumatra Utara mencaplok tanah-tanah transmigran yang sudah bersertifikat, tanah pengungsi aceh yang tak bersertifikat, bahkan tanah Depnakertrans. Ditambah intimidasi dan teror kepeda mereka yang menolak. Ada yang rumahnya dibakar malam hari, ditikam preman, ada pula PNS yang dimutasi, dan 10 orang dipenjara, karena menuntut pengembalian tanah mereka. Kompas 8 Juni 2010 memberitakan 2 orang petani ditembak, 1 meninggal dunia dalam konflik perkebunan sawit di Riau.

Kedua, teori yang diperkenalkan oleh Naomi Klein (2007) yang disebut ‘disaster capitalism’ (bencana kapitalisme). Contoh kongkret yang terjadi di Indonesia ialah bencana Tsunami Aceh 2004, yang menelan 130.00 korban jiwa dan menghilangkan 37.000 lainnya. Pasca Tsunami, para pemodal berbondong-bondong datang memanfaatkan ‘inflasi’ di Aceh dengan membuka restoran-restoran mewah, hotel berbintang, resort indah di tepi pantai, serta kedai kopi mahal. Di kota Banda Aceh saja misalnya, beberapa restoran seperti A&W, Texas Chicken, dan Pizza Hut membuka gerai untuk pertama kalinya setelah bencana Tsunami.

Dari kedua kasus diatas, terciptakan kondisi di mana masyarakat luas tidak memiliki banyak pilihan selain menjadi buruh perkebunan, atau menjadi tukang sapu/satpam penjaga resort, atau pergi ke pusat industri untuk menjadi buruh pabrik guna mempertahankan hidupnya.

***

Sebagai penutup, ada sepenggal puisi dari Karl Marx yang cocok kiranya menggambarkan bagaimana kerja hukum kapital:

“Kapital Hadir dari kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran”.

(Admin/RPDH)

Artikel, Event

Ngaji Ekonomi-Politik #1

Uraian ini merupakan catatan diskusi Ngaji Ekonomi-Politik yang diselenggarakan oleh Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, disingkat FNKSDA daerah Jombang, yang bertempat di Rumah Pengetahuan Daulat Hijau Jombang.

Dengan buku: “Geneologi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik” karya Dede Mulyanto sebagai acuan materi serta bahan bacaan, serta difasilitatori langsung oleh Fahmi Saiyfuddin selaku Koordinator Daerah FNKSA Jombang.

Berikut ringkasan catatannya:

Ekonomi : Barang dan/atau Jasa serta Peredarannya. Sederhananya Ekonomi adalah : Corak Produksi, Distribusi, dan Konsumsi

Politik : Segala sesuatu yang menyangkut pada ‘kekuasaan’. Baik meraih, merebut, mempertahankan, atau pilihan sikap atas kekuasaan.

Bab I
Asal-usul Produksi Kapitalis

Ciri Kapitalisme

Ibn Khaldun mengatakan: “dengan tidak adanya kerja, maka tidak ada produksi”. Produksi adalah mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. (hal. 12)

Eric Wolf (1990: 73-100) mengemukakan bahwa terdapat 3 Organisasi kerja.

  1. Berbasis Hubungan Kekeluargaan
  2. Perupetian zaman feodal
  3. Produksi Kapitalis

Ciri-ciri Kapitalisme

  1. Kepemilikan Pribadi bersifat Absolut
  2. Keterpilahan antara kelas pemilik sarana produksi (Kapitalis) dengan kelas yang tidak memiliki alat produksi (Proletariat/Buruh)
  3. Sistem Kerja Upahan
  4. Keharusan Akumulasi guna menciptakan Laba, Nilai Lebih, atau Riba.

Definisi Kapitalisme:
Kapitalisme adalah sistem produksi dan re-produksi yang berdasarkan pada ‘relasi sosial’ antara Kapitalis dengan Buruh

  1. Kapitalis memiliki alat produksi, Buruh memiliki tenaga kerja.
  2. Kapitalis melalukan komando produksi, Buruh melakukan aktivitas produksi.
  3. Kapitalis mendapatkan laba/nilai lebih, Buruh mendapatkan upah.
  4. Kapitalis menggunakan nilai lebih untuk akumulasi (re-produksi), Buruh menggunakan upah untuk subsistensi (bertahan hidup).

Komodifikasi Tanah dan Tenaga Kerja

Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas menjadi komoditas (sesuatu yg bisa dipertukarkan).

Ciri-ciri Komoditas

  1. Diproduksi
  2. Diluar Tubuh Manusia
  3. Hasil Kerja Manusia
  4. Dapat dipertukarkan (Jual-Beli)

Di era Kapitalisme ciri-ciri komoditas no. 1,2,3 berubah. Sedangkan ciri-ciri no. 4 tetap.

Contohnya Tanah dan Air. Tidak ada manusia yang memproduksi Tanah dan Air, Tanah awalnya bukan komoditas sebab Tanah adalah sarana produksi dan tidak diproduksi oleh manusia. Begitu pun Air, pada dasarnya tidak ada pabrik yang memproduksi Air, pabrik hanya memproduksi ‘kemasan Air’ berupa plastik, lalu mendistribusikannya pada konsumen. Namun, di era-Kapitalisme, Tanah dan Air dikomodifikasi menjadi barang komoditas yang diperjual-belikan.

Contoh lain ialah Tenaga Kerja. Tenaga Kerja ada ‘di dalam Tubuh Manusia’ dan bukan ‘Hasil Kerja Manusia’. Di era Kapitalisme, Tenaga Kerja dikomodifikasi / dijadikan Komoditas yg bisa dipertukarkan / diperjual-belikan kepada kelas Kapitalis. Buruh menjual Tenaga kerjanya pada Kapitalis, dan Kapitalis membeli tenaga kerja Buruh dengan Upah dengan berupa sejumlah tententu uang.

Proletarisasi

Proletarisasi adalah pemisahan sarana produksi (berupa Tanah) dari prodesen langsung (yakni Petani penggarap), dan menjadikannya sebagai Buruh. Sebab adanya kepemilikan pribadi absolut atas sarana Produksi.

Catatan:

Eric Wolf (Wolf, 1990: 79) “Kapitalisme menjadi Kapitalisme harus-lah Kapitalisme-dalam-produksi”. (hal. 22)

Kapitalisme adalah ‘Corak Produksi’, bukan Pasar. Namun pasar menjadi pranata pokok, karena Pasar merupakan tempat pertukaran guna menciptkan Laba dan Nilai Lebih.

(Admin/RPDH)

Artikel, Event

Madrasah Al Hikam Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional

Ibu Hj. Maftuhah Mustiqowati, M. Pd. bersama para siswa/siswi peserta EcoBrick. (22/02/2020)

Kita semua sepakat bahwa sampah merupakan masalah bagi bersama. Tanpa kita sadari negeri ini ternyata menjadi rangking 2 penghasil sampah di Dunia setelah Tiongkok. Pada tahun 2019 saja, produksi sampah plastik mencapai 175.000 ton setiap harinya. Dengan jumlah tersebut, sampah plastik di Indonesia diperkirakan mencapai 64 juta ton, bahkan lebih.

Dalam menanggulangi sampah plastik, Madrasah Al-Hikam yang beralamat di Jl. Masjid, Jatirejo, Kec. Diwek, Kab. Jombang, Jawa Timur menggelar “Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional” dengan aksi kreatif dan inovatif bertajuk “Mengubah Polusi Menjadi Solusi”.

Peringatan yang diikuti oleh 250 civitas akademik siswa/siswi Madrasah Al-Hikam Jombang, didukung penuh dengan kehadiran Kasi Pendma Kemenag Jombang, Bapak M. Arif Hidayatullah, M. Pd., Ketua Pokjawas Kemenag, Bapak Drs. H. Ubaidillah, dan Ketua BMKS Jombang, Bapak H. A. Choiri.

Dengan dipimpin oleh Ketua Yayasan Mambaul Hikam, Bapak H. M. Irfan, M. HI., serta Pengawas Madrasah Al-Hikam, Bapak Asy’ari, M. Pd., dan Bapak H, Sunoto, M. Pd. Melakukan aksi bersih-bersih sepanjang Jl. Masjid, Jatirejo, Diwek, Jombang hingga Kawasan Makam Gus Dur (KMGD) dengan membawa 40 kantong sampah pada Jum’at (21 Februari 2020).

Kemudian pada hari berikutnya Sabtu (22 Februari 2020), Madrasah Al-Hikam mengadakan “WorkShop EcoBrick” bersama 29 Lembaga Pendidikan jenjang SD/MI dan SMP/MTs se-Kab. Jombang, sebagai upaya daur ulang sampah plastik yang menjadi momok mematikan bagi alam dan segala yang hidup di dalamnya.

Di zaman yang sudah modern dan seba praktis tentu sulit terhindar dari pengunaan plastik. Pengunaan yang tidak bijak telah menghantarkan negeri ini menjadi peringkat kedua penghasil sampah, plastik khususnya.

Ecobrick merupakan langkah minimum dalam menanggulangi hal tersebut, mengingat plastik jika dibakar akan mengotori udara, jika dibuang akan menghasilkan masalah baru di Tempat Pembungan Akhir (TPA) yang bahkan tercecer hingga ke sungai dan laut, serta menyebabkan ikan-ikan tercemar microplastic penyebab ‘kangker’ serta membunuh banyak biota laut lainnya.

Kepala Madrasah Al-Hikam, Ibu Hj. Maftuhah Mustiqowati, M. Pd., selaku tutor dalam kegiatan EcoBrick menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk merawat dan menjaga bumi dari sampah plastik. Beliau juga mengutarakan bahwa peran manusia sebagai Kholifah fi al-Ard (Pemimpin di Bumi) wajib menjaga segala yang diciptakan oleh Allah. Sebagaimana dalam QS Al-A’raf : 56;

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“dan Jangan kalian membuat kerusakan di Bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf : 56).

Disamping bersih-bersih sampah lalu dilanjut Ecobrick, Madrasah Al-Hikam juga telah melakukan aksi pembuatan lubang Biopori di Kantor Kemenag Jombang pada Jum’at (14 Februari 2020), serta pada saat aksi bersih-bersih di sekitar KMGD. Tidak berhenti disitu, bulan mendatang Madrasah Al-Hikam juga akan membuatkan Lubang Biopori kepada lembaga yang ikut serta meriahkan Hari Peduli Sampah Nasional.

Langkah kongkret ini tidak lain merupakan aplikasi dari dakwah bi al-Hal (dengan tindakan). Bukan melulu berbicara ‘Air Suci mensucikan atau Kebersihan sebagian dari Iman’, namun bagaimana cara kita menjaga kesucian tersebut yang merupakan sarana vital menunjang Ibadah kita, dan kehidupan seluruh umat manusia.(Admin/RPDH)

Artikel, Event

RPDH Silaturahmi Gemapala Unimas

Selasa (11 Februari 2020), Rumah Pengetahuan Daulat Hijau (RPDH) melakukan silaturahmi ke rekan-rekan “Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam” Universitas Mayjend Sungkono (Gemapala Unimas) Kota Mojokerto, Jawa Timur.

Antusiasme dari rekan-rekan UKM Gemapala menyambut dengan hangat kedatangan kami dari Kab. Jombang. Lalu kunjungan kali ini dibarengi dengan lingkaran diskusi hal-hal terkait dinamika Alam dan Kepencintaan Alam.

Diskusi yang dimoderatori oleh Anta Tanjung ini, dilangsungkan di teras lantai 2 Ruang UKM Gemapala. Tanjung  mengatakan, Kegiatan ini merupakan proses belajar bersama perihal Alam, Sumber Daya Alam (SDA), dan segala aspek yang terkait di dalamnya.

Kemudian diskusi dipantik oleh Fahmi Saiyfuddin selaku pegiat RPDH Jombang. Fahmi memulai dengan sebuah pertanyaan sederhana “Siapa Itu Pencinta Alam ?”.

pertanyaan ini merupakan refleksi bagi kita bersama, sebenarnya identitas Pencinta Alam itu pantas disandingkan kepada siapa. Lalu, Ahmad selaku pegiat Gemapala, menanggapi pertanyaan tersebut dengan :

“Sebenarnya saya sendiri merasa belum pantas disebut Pencinta Alam jika berkaca pada prilaku sehari-hari, namun menurut saya Pecinta Alam adalah berkontribusi kepada alam itu sendiri….” menurut Ahmad.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Fahmi menceritakan asal mula istilah Pecinta Alam di Negeri ini dicetuskan oleh aktivis yang bernama Soe Hok Gie pada tahun 1964. Invasi militer kala itu, menyulut Gie membentuk sebuah gerakan “Pencinta Alam” yang bertujuan untuk kebebasan sipil (baca: Catatan Seorang Demonstran).

Namun dewasa ini, identitas Pencinta Alam mengalami titik ‘pragmatis’ karena hanya sebatas pendakian gunung atau menjelajah di alam bebas, namun bungkam terhadap aspek-aspek yang berpotensi merusak Alam.

Mengutip data Walhi Jatim, tercatat setidaknya ada 434 kejadian Bencana Ekologis pada 2017, sepeti banjir, longsor, abrasi dan kekeringan akibat ulah tangan manusia. Merucut pada Mojokerto, belum lama terdapat 3 warga desa yang berjalan kaki menuju Istana Negara sebagai protes terhadap Tambang Galian C di Desa Lebak Jabung, Jatirejo yang merusak alam mereka.

Lagi-lagi Fahmi menyutarakan pertanyaan, dengan berkaca kepada data tersebut haruskah seorang Pencinta Alam memikirkan hal tersebut ? Salah satu peserta menjawab: “Harus, bahkan wajib”.

Fahmi menarasikan secara singkat, “Pencinta” adalah orang yang mencintai dan “Alam” ialah segala yang berada di sekeliling kita seperti bumi, air, udara, tanah, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hematnya “Pencinta Alam” adalah seorang yang berupaya penuh menjaga kelestarian alam.

Setelah itu, pemateri menutup pembahasannya dengan statement :

“Sudah saatnya identitas sebagai “Pencinta Alam” harus selaras dengan aktualitas. Mempelajari segala yang berpontesi merusak alam, lalu sadar secara dini untuk mencegahnya. Sebagaimana orang yang mencintai, pasti dia akan segenap jiwa dan raga berupaya menjaga yang dicintainya. Jadilah pencinta alam yang benar-benar mencintai alam untuk kelestarian alam dan kehidupan yang akan datang.”

Tidak berhenti sampai di situ, Iswan Taufiq yang berasal dari Kepulauan Kangean, Kab. Sumenep, yang juga lingkar pegiat RPDH menambahkan sedikit bagaimana dampak sosial dari Ekploitasi Migas yang tidak memberikan manfaat terhadap penduduk setempat.

Fakta tersebut dibuktikan dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai Buruh Migran. Disamping itu, CSR yang diberikan tidak sebanding jika dikalkulasikan dengan laba hasil penjualan migas. Timbul sebuah pertanyaan, lantas apa bedanya mereka dengan maling ?

Terlebih jika terjadi bencana ekologis, siapa yang sangat dirugikan ? Penduduk setempat pastinya. Mereka tidak lain hanyalah “pemerkosa” alam demi birahi kekayaan segelintir orang saja, sedangkan masyarakat hanya dapat ampas serta dampak sosial, tutur Iswan menutup pembicaraanya.

Fahmi (RPDH); Baihaqi (Gemapala); dan Iswan (RPDH)

Pertemuan silaturahmi dan diskusi ini merupakan rangkaian merajut jaring-jaring pergerakan, dengan belajar bersama memupuk pengetahuan sebagai pengantar guna menciptakan gerakan pelestarian alam untuk kehidupan yang akan datang. (Admin/RPDH)

Artikel, Esai

Omnibus Law, Revolusi Industri 4.0, dan Generasi Karatan 2045

Fahmi Saiyfuddin (Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau)

Delia adalah wanita pekerja di Ibu Kota, bekerja di sebuah Hotel bintang lima sebagai cleaning service. Dengan gaji UMR Delia mampu menopang kehidupan pribadi sekaligus kuliah secara mandiri. Sebagai petugas kebersihan, Delia tentu bekerja berdasarkan intensitas jumlah pengungjung yang datang. Hal ini membuatkan pihak hotel merasa ada waktu yang tidak produktif terhadap kinerja Delia yang tetap mendapat Rp 3.648.035 setiap bulan.

Awalnya Delia termasuk orang yang beranggapan bahwa waktu kerja 8 jam, segala bentuk tunjangan, libur cuti, serta gajinya adalah rezeki Ilahi serta kebaikan perusahaan terhadap pekerja, tanpa sadar adanya proses penghisapan. Hingga Ia kenal dengan seseorang yang menyadarkan dirinya perihal dinamika perjuangan kelas pekerja menuntut hak-haknya.

Jadilah kini Delia yang aktif bergabung dalam kajian serta gerakan buruh. Hal tersebut  membuat  Ia sadar bahwa terdapat struktur kuasa yang sektoral, atau dikuasi oleh segelintir elit menyebabkan kontruk sosial-ekonomi yang timpang. Disamping itu, tiada ketentuan afirmatif untuk memberi dan melindungi hak-hak perempuan dalam bekerja, masih menjadi persoalan serius yang sampai kini belum tuntas.

Terlebih belakangan ini timbul RUU Omnibus Law yang ditolak oleh kalangan buruh pada 20 Januari 2020 di depan gedung DPR, karena isi UU tersebut dirasa semakin merapas hak pekerja. Selaras dengan hal tersebut, juga ada wacana Revolusi Industri 4.0 yang merupakan agenda membesarkan Transnational Corporation. Serta iming-iming “Generasi Emas 2045” dengan bonus demografi, yang jika diusut hanya akan menghasilkan banyak tenaga kerja murah nantinya.

Omnibus Law

Omnibus Law adalah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan peraturan. Artinya satu peraturan bisa membawahi banyak peraturan yang bertujuan menciptakan sebuah peraturan mandiri tanpa terikat. Omnibus Law dicanangkan untuk menyelesaikan permasalahan peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih untuk kemudahan laju investasi.        

Sekitar terdapat 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan di revisi karena dianggap menghambat investasi. Ada satu RUU dalam Omnibus Law yang menyulut protes para buruh, yakni terhadap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA), pasalnya UU tersebut sangat memanjakan pengusaha dan tidak berpihak pada para pekerja yang notabene rakyat kelas bawah. Diantaranya ialah penghasupan sanksi pidana atas pengusaha nakal, penerapan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengabil atau memutus pekerja), pengaturan fleksibilitas jam kerja, dan soal pesangon serta pengupahan tenaga kerja.

Jadi, apabila pesangon serta pengupahan tenaga kerja diterapkan dengan upah per jam, maka gaji Delia yang sekitar 3,5 Juta per-bulan dibagi 30 hari menjadi Rp. 120.000, kemudian dibagi 8 Jam, hasilnya hanya Rp. 15.000 saja. Dengan begitu, pekerjaan sebagai cleaning service yang bekerja hanya 2 sampai 5 jam per-hari tergantung intensitas pengunjung, maka bisa dibayangkan bagaimana nasib Delia serta para pekerja lain. Terlebih adanya easy hiring easy firing dan realita sulitnya mencari pekerjaan di Ibu Kota. Lantas akan bagaimana nasib Delia ?

Selain upah tenaga kerja, penghapusan AMDAL dan IMB dalam Omnibus Law jelas semakin menambah kerusakan ekologi yang berpontesi meningkatkan global climate (pemansana global)serta dampak sosial-ekonomi berkepanjangan. Terlebih adanya ‘Diskon Pajak’ serta sanksi dari Pemerintah Pusat bagi siapa saja yang menghambat laju investasi. Dapat dipastikan gerakan sosial akan dikebiri sebab makin leluasanya para pengusaha akibat penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal.

Tidak berhenti sampai disitu, visa izin bagi ‘Tenaga Kerja Asing’ (TKA) yang dipermudah pasti berdampak meningkatnya jumlah pengangguran, lalu jurang ketimpangan sosial antara si kaya (Borjuis) dan si Miskin (Ploletar) dipastikan akan terus meningkat, dan kekayaan bangsa ini akan semakin sektoral bagi segelintir elit saja (Oligarki). Lantas kalau sudah demikian, akan bagaiaman nasib seluruh masyarakat jika RUU Omnibus Law disahkan ?

Revolusi Industri 4.0

Konsep “Industri 4.0” adalah kepanjangan dari revolusi industri 0.1 sampai 0.3, yang dikenal dengan sebutan revolusi teknologi dan revolusi digital. Terdapat 4 ciri yang menandakan revolusi industri 4.0: Pertama, Internet of Things (segala sesuatu tersambung internet). Kedua, Big Data (1001 sensor, dan 1001 informasi untuk merekam selama 24 jam sehari). Ketiga, Cloud Computing (perdataan cepat berbasis internet). Keempat, Artificial Intelligence (mesin otomatis yang menggatikan seluruh proses kerja, atau yang disebut Robot Automation).

Fakta berbicara bahwa kebangkitan revolusi industri sejak awal telah menelan banyak korban. Revolusi tersebutlah yang menjadi embrio kolonialisme yang dilakukan Eropa untuk menguasai dunia. Mesim uap yang membutuhkan minyak sebagai bahan bakar di eksploitasi dari negeri-negeri jajahan, serta sumber daya alam (SDA) lain untuk kepentingan industri serta kekayaan sektoral untuk bangsa penjajah. Di samping itu, revolusi industri juga berdampak pada sosial budaya dan proses dehumanisasi karena berkurangnya tenaga kerja manusia.

Bisa dibanyangkan, Omnibus Law yang mengancam hak-hak pekerja, dan ditambah dengan Robot Automation rancangan revolusi Industri 4.0 adalah sebuah proses sistematis berbalut hukum memiskinkan Delia dan para pekerja lain, dan lagi-lagi membuat kaya yang sudah kaya.

Dari proses tersebut muncul sebuah pertanyaan, siapa yang di untungkan ? Pengusaha besar / Transnational Corporation. Serta siapa yang di rugikan ? Para pekerja yang notabene rakyat jelata. Lantas bagaimana nasib sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jika melihat potret gagasan tersebut ?

Generasi Karatan 2045

2045 adalah saat Indonesia genap berusia 100 tahun. Timbul ide dan gagasan tentang “Generasi Emas 2024”. Istilah tersebut dilandasi dengan ‘Bonus demografi’ pada tahun 2045. Bonus demografi disebut sebagai harta karun berharga, karena di tahun tersebut jumlah peduduk Indonesia di prediksi mencapai 70% dominasi usia produktif (15-64 tahun), dan 30% usia tidak produktif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun).

Pemerintah sendiri dalam dokumen  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekononomi Indonesia (MPE3I) di era SBY sudah mencanangkan, pada tahun 2025 Indonesia akan jadi negara maju, mandiri, makmur, dan adil, serta diharapakan menjadi 12 besar kekuatan ekonomi Dunia dengan pendapatan perkapita USD 15.000. Kemudian pada 2045 mendatang, diproyeksikan pendapatan per kapita menjadi sebesar USD 47.000 dan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu dari 7 kekuatan ekonomi Dunia.

Jika hari ini Delia berumur 20 tahun, maka di tahun 2045 Ia akan berumur 45 tahun dan masih dalam masa produktif. Di samping itu, Delia juga harus bersaing karena banyak generasi setelahnya yang tentu lebih fresh dan produktif untuk dipekerjakan. Namun, jika dikaitkan kembali dengan proyek RUU Omnibus Law dan sistem Industri 4.0, apakah mungkin Indonesia menjadi negara maju yang diejawantahkan dalam MP3EI dapat terealisasikan ?

Bila ditinjau lagi, “generasi emas 2045” hanya akan menghasilkan banyak pekerja murah jika kita apatis dan membiarkan Omnibus Law serta laju Revolusi Industri 4.0 yang berupaya membesarkan pengusaha saja. Lalu, sesuatu yang disebut harta karun ‘bonus demografi’ hanya akan menjadi generasi yang ‘berkarat’. Sebab tenaga kerja yang melimpah akan tetapi pekerjaan terbatasi oleh Robotisasi Revolusi Industri, lantas akhirnya para pekerja merelakan dirinya dibayar murah sebab Omnibus Law.

Melihat kondisi tersebut, lantas apa bedanya Delia dan generasi berikutnya pada 2045 dengan perbudakan era-Feodalisme yang bekerja dan hanya diberi makan oleh majikannya. Lalu juga dengan pasca-Feodal, dimana seorang buruh bekerja dan diberi upah yang hanya cukup untuk makan. Pertanyaan baru muncul, apakah keadaan tersebut bisa disebut “Generasi Emas” ? Dan apakah “Keadilan Sosial” benar-benar ada ?

Penutup

Dengan hadirnya Omnibus Law, tentu membawa nafas segar bagi pemilik Hotel tempat Delia bekerja serta perusahaan-perusahaan besar lainya. Sebab keuntungan yang diperoleh bisa naik berkali-kali lipat nantinya. Terlebih bagi korporasi besar (Transnational Corporation), Omnibus Law adalah pusaka berharga untuk menaikan laba mereka. Sedangkan Delia serta teman-teman kelas pekerja dibrangus segala hak-haknya.

Melihat ulang RUU Omnibus Law, gagasan Relovusi Industri 4.0, serta Generasi Karatan 2045, nampaknya hal tersebut hanya menghasilkan ‘demuhanisasi masal’ serta kekayaan yang lebih sektoral. Mekanisme ini tentu adalah seperangkat proyek yang sistematis beralas kapitalis dengan corak ekploitasi masif dan tidak moralis karena berdampak pada ketimpangan sosial berkelanjutan.

Terlebih Delia seorang wanita, maka akan lahir stigma-stigma negatif dalam kontruk sosial masyarakat, akibat corak produksi “mode of production” kapitalisme yang eksploitatif, bias gender dan tidak berkeadilan. Maka, setelah berkaca pada hal-hal tersebut, kendati seorang wanita, Delia dengan tegas bersuara kepada teman-temannya “Wahai buruh Indonesia, bersatulah Tolak RUU Omnibus Law”.



Foto : Sejumlah massa buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) saat menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI, Jakarta, Senin, 13 Januari 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Sumber Gambar : kolom.tempo.co

Artikel, Event

RPDH Sowan PonPes. Manba’ul Hikam

Fahmi Saiyfuddin & Hj. Maftuhah Mustiqowati S.Ag., M.Pd.

Kamis (23/01/2020) pagi, Fahmi Saiyfuddin selaku perwakilan dari Rumah Pengetahuan Daulat Hijau (RPDH) melakukan sowan atau bersilaturahim ke Pondok Pesantren Manba’ul Hikam di Nanggungan, Jatirejo, Kec. Diwek, Kab. Jombang, Jawa Timur.

Sowan yang diterima oleh Hj. Maftuhah Mustiqowati S.Ag., M.Pd. atau yang lebih dikenal dengan Ibu Nyai Ika selaku pengurus serta pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul Hikam ini disambut dengan ramah dan terbuka di halaman Joglo MA Manba’ul Hikam.

Sowan yang kami ingin mencari tahu, bagaimana pandangan serta kegiatan apa yang telah diimplementasikan Pondok tersebut dalam upaya menjaga lingkungan hidup yang hari ini menemukan titik prihatin.

Beliau mengutarakan bahwa kurangnya kesadaran pada lembaga pendidikan islam khusunya Pondok Pesantren, terkait kebersihan serta menjaga kelestarian lingkungan yang kian hari menimbulkan masalah di berbagai tempat, memotivasi untuk berinovasi mendidik santri-santrinya untuk terjun aktif dalam menjaga lingkungan.

Terlebih Islam sebagai Agama yang Rahmatan lil ‘Alamiin tentu menjunjung tinggi kebersihan dan nilai kesucian. Fakta ini diperkuat dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, Hadits, Fikih, serta Ushul Fikih tentang kewajiban menjaga kebersihan. Namun minimnya kesadaran membuat fatwa tersebut belum dapat direalisasikan secara optimal, tutur Beliau.

Memperhatikan secara detail setiap sudut Pondok, Sekolah, serta sarana lain supaya terbebas dari sampah, mengawasi setiap santri untuk tertib dan disiplin membuang sampah pada tempatnya, serta sesuai dengan jenis sampah tersebut adalah hal yang tak bosan dilakukan Ibu Nyai Ika pada setiap harinya.

kemudian Beliau juga melakukan workshop ‘Ekobrik’ kepada para santri sebagai langkah minimun mendaur ulang sampah plastik. Mengingat Indonesia hari ini adalah penghasil sampah plastik terbanyak nomer 2 setalah China.

Dengan tekad gigih serta istiqomah dakwah menyuarakan kebersihan lingkungan di Pesantren, turut mengundang perhatian dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jombang, dan Aparatur Pemeritah Jombang, bahkan Menteri Lingkungan Hidup serta Kementerian Agama, untuk mendukung inovasi Pengasuh Ponpes Manba’ul Hikam supaya dikembangkan di lembaga Pesantren lainnya.

Ibu Nyai Ika juga mengungkapkan keprihatinan serta krtitik terhadap lembaga pendidikan islam, Pesantren khusunya, untuk seharusnya tumbuh kesadaran akan kebersihan lingkungan. Mengingat santri sebagai penerus estafet dakwah sang Nabi harus menjadi cerminan baik kelak saat sudah pulang dan turun bersama masyarakat.

Santri yang merupakan komunitas besar di Negeri ini seharusnya mengaplikasikan mahfuzhot “an-Nazhofah min al-Iman”: kebersihan sebagian dari iman, atau “at-Thohuur Syathru al-Iman”: Kesucian adalah Syarat Iman (HR. Muslim) diberbagai tempat. Sebagai bentuk amaliyah Islam Rahmatan lil ‘Alamiin dengan menjaga kelestarian Alam.

Karena tidak dapat dipungkiri manusialah penyebab daripada pengruskan alam, sebagaimana dalam QS. Ar-Rum: 41, Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)

Dengan demkian, manusia itu sendirilah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan yang mereka perbuat.

Maka sudah saatnya Pesantren, dan Santri sebagai wadah serta kaderisasi penerus ‘Dakwah Sang Nabi’ menjadi Pelopor serta Motor Penggerak menjaga kebersihan lingkungan demi kelestarian alam untuk keberlangsungan umat di masa yang akan datang. Aamiin. (Redaksi/RPDH)


Artikel, Esai

Komersialisasi Ujung Rambut Hingga Kaki

sumber:google.com

oleh : Ayu Nuzul

Apa sih yang tidak dikomersilkan? Kita mandi pakai sabun, keramas pakai shampo, sikat gigi pakai pasta gigi, cuci muka pakai scrub, cuci baju pakai deterjen, mau tidur pakai lotion, datang bulan butuh pembalut. Kenapa tubuh ini konsumtif sekali! Apa ini kebutuhan ataukah sekedar gaya hidup? Andai dirinci secara matematis berapa rupiah kebutuhan tubuh ini selain makan? Bagaimana jika dalam keseharian tanpa memakai produk-produk tersebut? Bagaimana mengenal produk-produk tersebut sehingga menjadi bagian kehidupan?

Nenek saya pernah bercerita jika orang dahulu mencuci baju memakai klerak yakni sejenis tanaman, saya juga belum pernah melihat tanaman itu. Keramas cukup dengan merang atau sekarang lebih dikenal dengan nama urang-aring, untuk pelembab rambut cukup pakai minyak kelapa dibikin sendiri. Orang dulu terbiasa nginang (makan sirih), walau usia tua gigi tetap utuh barangkali jarang juga gosok gigi. Untuk masalah datang bulan cukup pakai kain bekas, dicuci, dipakai kembali, jadi tidak ada sampah, tanpa biaya.

Sekarang semua serba beli dengan alasan praktis dan efisien. Lagi pula jika memakai bahan seperti yang disebutkan di atas sulit didapatkan saat ini, berbeda dengan dahulu bahan-bahan dari alam bisa diperoleh dengan mudah dipekarangan rumah. Bagaimana bisa hilang bahan-bahan tersebut padahal menjadi kebutuhan utama? Jika dahulu semua kebutuhan cukup dari alam kenapa beralih memilih mengeluarkan biaya?

Kehidupan sekarang semua serba modern segala sesuatu terlihat menarik dari luar, praktis, dan efisien. Tersedia dimana saja, dan gampang didapat, berbagai macam produk ditawarkan mulai dari atas kepala sampai menyentuh tanah. Seolah-olah menjadi solusi praktis, padahal membelenggu menjadi ketergantungan. Lantas siapa yang diuntungkan? Kita sebagai konsumen atau produsen.

Persoalan tersebut baru satu ruang kehidupan, bagaimana dengan makanan sehari-hari sebagai kebutuhan primer? Selanjutnya sekunder? Apa juga berubah?

Sebagai perenungan lagi-lagi saya mengambil cerita nenek, orang dahulu kalau makan itu seadanya. Panen jagung sebagian dijual sebagian untuk makan, begitupun dengan padi cukup makan sampai panen berikutnya. Makanan alternatif seperti ketela pohon atau rambat, umbi-umbian lain banyak di pekarangan rumah atau kebun.Sebagai lauk di kebun semua tersedia lengkap, cabai, pepaya, kelapa, daun-daunan, tumbuh liar di kebun. Belanja cukup beli ikan asin, terasi, garam. Jika ingin menu lain seperti telur bisa ambil di kandang, kata nenek walaupun ayamnya tidak banyak. Masakan nenek  jarang digoreng, ikan asin cukup dibakar, ketela direbus. Beli kecap saja kalau akan masak buat selamatan.

Nenek saya petani tulen, katanya petani jarang punya uang tapi punya barang. Jadi kalo masalah makan cukup yang dipunya saja yang penting tidak punya hutang.

Selanjutnya, bagaimana dengan kebutuhan sekunder? Kira-kira dalam setahun kita beli baju berapa kali? Sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pulsa? Perabot rumah tangga apa yang belum punya? Apakah kesemuanya jadi sesuatu yang urgen?

Menjadi Manusia Konsumtif

Menurut pakar neurosains Sam Haris mengatakan manusia modern dibuat terobsesi oleh sebuah produk. Baru-baru ini muncul iklan provider dengan sebuah jargon unik “kebelet online”, dimunculkan remaja rela naik ke atas pagar mencari sinyal  agar bisa online. Pesan iklan tersebut mengisyaratkan online adalah kebutuhan. Iklan serupa, sebuah smartphone, jargon iklannya “muka masa kini hp masa gitu!”. Iklan tersebut berpesan bahwa remaja saat ini sudah tidak cocok dengan hp yang cuma bisa menelpon dan kirim pesan. Untuk menjadi remaja masa kini mesti smartphone.

Iklan menjadi ideologi, tanpa sadar memaksa, tanpa sadar mengobsesi pikiran, mencuci otak, membayangi, membuat penasaran, dan pada akhirnya masuk jebakan dengan membelinya.

Sebuah riset UCLA pada 2012 terhadap 32 keluarga di Los Angeles terkait kepemilikan benda-benda. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin banyak benda yang dimiliki keluarga semakin mahal biaya hidup dan perawatan yang harus dikeluarkan1.

Pada 2013, Kadence International-Indonesia merilis hasil riset Share of Wallet, hasilnya 28 persen masyarakat Indonesia berada dalam kategori “Broke”, atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Pengeluaran ini dilakukan untuk hidup mewah di luar penghasilannya2. Perilaku konsumtif demi memburu benda yang menjadi obsesi dapat dilihat penuhnya pusat perbelanjaan menggelar diskon produk ternama semisal Nike, pembeli rela berdesakan dan antri berjam-jam3.

Jika merujuk apa yang dikatakan David Harvey menganai “time space compression” adalah kata kunci untuk menunjukkan kondisi keberadaan manusia atas ruang dan waktu. Time space compression merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini yang erat dengan kemajuan material menyentuh hampir segala aspek kehidupan. Kemajuan material menyangkut kemajuan teknologi yang bertambah canggih. Hal demikian tidak lepas dari modus produksi kapitalis. Harvey memberikan tiga gambaran modus produksi kapitalis, pertama, kapitalisme selalu berorientasi pada pertumbuhan, kedua, pertumbuhan yang maksimal mengandaikan adanya eksploitasi terhadap buruh, dan ketiga, kapitalisme membutuhkan suatu kondisi dinamis dan inovatif secara teknologi organisatoris.

Dalam dua atau tiga dekade terakhir Harvey menunjukkan adanya pergeseran ranah kehidupan sosial manusia. Dalam ranah ekonomi-politik disebut pergeseran dari sistem fordisme4 ke sistem akumulasi fleksibel. Sistem akumulasi baru ini  berdasarkan fleksibel atau kelenturan respect pada proses kerja, proses produksi, dan pola konsumsi. Untuk mempercepat waktu perputaran konsumsi, umur barang produksi semakin diperpendek sehingga orang membeli barang baru lagi. Dibawah sistem fordisme umur produk bisa mencapai lima sampai tujuh tahun, tetapi dibawah sistem akumulasi fleksibel umur produk diperpendek hingga separuhnya. Bahkan perangkat lunak (software) hanya dalam hitungan bulan5.

Dalam bidang produksi muncul produk instan (cepat saji) dan cepat buang. Namun yang dibuang tak hanya barang, tetapi juga nilai-nilai, gaya hidup, relasi-relasi mapan serta ikatan-ikatan pada tempat dan orang.

Produk instan tak hanya berupa makanan, produk lain seperti sabun cuci yang dahulu memakai klerak melalui proses direbus dahulu. Minyak rambut dari kelapa melalui proses panjang; diparut, diambil santannya kemudian dimasak sampai keluar minyaknya. Cuci piring cukup pakai abu gosok diambil dari  tungku tak perlu beli. Keramas dengan urang-aring dibakar, direndam air kemudian diambil beningnya. Kesemua proses itu dianggap memakan waktu lama, kuno, dan ribet. Demikian juga tisu, popok bayi, gelas atau botol minum semuanya sekali pakai-buang. Memakai produk jadi dianggap efisien, yang tentunya diperoleh dengan beli. Melalui sirkulasi produksi kebutuhan manusia dibentuk agar dapat mengkonsumsi apapun yang diproduksi.Polanyi menyatakan bahwa kelembagaan pasar tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakikat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat, ia akan secara fisik merusak6.

Lebih lanjut aktivitas produksi membutuhkan manipulasi rasa dan opini melalui iklan yang tidak hanya sekedar menginformasikan atau mempromosikan tetapi meningkatkan menjadi usaha memanipulasi hasrat dan rasa melalui imaji-imaji yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan. Bahkan imaji-imaji sendiri menjadi komoditas.

Visualisasi iklan seolah hidup dan nyata. John Cook (Dalam Bragg & Kehily, 2014) mengidentifikasi hal tersebut dalam iklan yang ditargetkan kepada khalayak muda:7

“…wacana periklanan kini semakin kerap menekankan agensi dan otonomi konsumen muda. Alih-alih dirancang secara artifisial oleh pasar, hasrat para konsumen muda ditampilkan sebagai hal yang otentik dan berasal dari diri mereka sendiri.”

Menurut Heiddegger perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang dimana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa. Misal produk kecantikan Wajah, divisualisasikan perempuan berhijab, cantik, dan sukses. Pesan iklan ini mencitrakan bahwa ini produk halal bersertifikat MUI artinya tidak ada babi-babian jadi tak perlu takut tercampur sesuatu yang haram plus aman karena halaalan bersanding dengan thoyyiban.

Produk ini dipakai para perempuan sukses kelas atas sehingga mampu meyakinkan orang untuk berbondong-bondong menyerbu supermarket membeli produk ini dengan bayangan mendadak berganti rupa secantik Dewi Sandra. Labelisasi halal pada gilirannya menjadi tren komersil produk lain seperti jilbab, deterjen, shamphoo, parfum, body loshion dan sederet produk lain yang belum muncul. Sebagaimana diungkapkan oleh aliran Marxisme Frankfurt bahwa kesadaran palsu berdasarkan pada penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya  serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kuasa media8.

***

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang diadakan Sayogjo Institut di pesantren al-Thariq Garut pada Jawa Barat 14-16 Juli 2017 diikuti oleh 165 peserta laki-laki dan perempuan patut diapresiasi ide revolusi meja makan dengan kembali kepada yang natural 9.

Acara yang mangkaji bagaimana pengaruh makanan modern terhadap kondisi tubuh, karena tidak diketahui asal-usulnya yang kesemuanya didapat dengan membeli di swalayan atau pesan melalui aplikasi telepon pintar. Komposisi makanan maupun proses tanamnya mengandung kimia berbahaya  yang berakibat buruk bagi tubuh dan juga alam. Minyak goreng sawit yang tumbuhnya ditopang pestisida kimia demikian juga beras, bahkan sayuran. Kemasan styrofoam atau plastik butuh 100 tahun terurai dengan tanah menjadi racun.

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air ini menjadi suatu perlawanan kecil bahwa kita harus kembali ke alam, memanfaatkan apa yang diberikan alam di mulai dari meja makan berlanjut kebutuhan-kebutuhan lain dari atas kepala sampai ujung kaki. Ditengah gempuran berbagai produk makanan maupun selainnya, kita dapat belajar pada pesantren Al-Thariq dengan menanam sendiri secara organik kebutuhan pangan termasuk juga non-pangan semisal deterjen, shampoo berbahan dari alam. Demikian juga penghayat sedulur sikep yang sampai detik ini mempertahankan keberlangsungan alam demi masa depan generasi selanjutnya. Pantang menyerah, tak tergoyah dengan gedung yang tinggi, pabrik, dan segala yang modern. Ingat alam juga punya hidup, memberikan kehidupan pada manusia.

Sumber :

  1. https://tirto.id/cukup-dan-bahagia-brvY
  2. https://tirto.id/biar-utang-yang-penting-gaya-bq8a
  3. https://tirto.id/kehebohan-nike-bazaar-dan-alasan-manusia-gila-diskon-cveZ
  4. Dibawah sistem fordisme umur barang produksi dapat mencapai lima sampai tujuh tahun
  5. https://www.scribd.com/mobile/document/237167823/David-Harvey
  6. Noer Fauzi Rachman, Menyegarkan Pemahaman mengenai Kapitalisme Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi pra rapat kerja LSAM. (https://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=1653&lang=in)
  7. http://www.remotivi.or.id/amatan/407/Konsumsi:-Antara-Melawan-Klise-dan-Perlawanan-Yang-Klise
  8. http://www.esaunggul.ac.id/article/pengaruh-iklan-televisi-dalam-pencitraan-gaya-hidup/
  9. http://www.konde.co/2017/07/rahim-dan-revolusi-meja-makan-1.html?m=1

Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://rumahpengetahuandaulathijau.blogspot.com/search?updated-max=2018-03-22T00:03:00-07:00&max-results=13&start=6&by-date=false diunggah ulang di laman Rumah Pengetahuan Daulat Hijau yang baru.

Tidak Dikategorikan

Profile Rumah Pengetahuan Daulat Hijau

Rumah Pengetahuan Daulat Hijau adalah Wadah komunitas Belajar bagi Mahasiswa, Pelajar, Anak-anak, dan Santri Jombang. Fokus pada persoalan dinamika Agraria serta kelestarian Alam yang semakin hari dirasakan kian mengalami titik prihatin.

Bermula dari diskusi rutin setiap seminggu sekali pada pertengahan 2018, serta urgensi kurangnya ruang belajar serius, juga minimnya kajian perihal ‘Problem Ekologi’, dan dinamika perubahan ‘Agraria perspektif Kritis’ . Maka, menstimulus kami untuk mendirikan Wadah komunitas Belajar yang biasa dikenal dengan nama RPDH Jombang.

Kegiatan :

  • Diskusi Rutin setiap Jum’at (untuk Umum)
  • Pendidikan Ekologi Pelajar(untuk SLTP/STLA se-derajat)

Ekonomi Mandiri :

  • RPDH Bookstore

Media Sosial :

  • Fb : Rumah Pengetahuan Daulat Hijau & RPDH Bookstore
  • IG : @rpdh_jombang & @rpdh.bookstore

Contact Person :

  • 0857.0672.4858 (Ayu Nuzul)
  • 0896.2664.0546 (Fahmi Saiyfuddin)

Alamat : Jl. Indrapura No.83, Kwaron, Kec. Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur 61471 https://goo.gl/maps/qKiuVUbmNGx8M1dw8